Makalah
Akhlaq terhadap Allah SWT
Disusun
Oleh
Nama : Ahmad Miftahul farid
NPM : 201314079
Prodi : Komunikasi D
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Al-Islam’ dengan
pokok bahasan ‘Akhlaq terhadap Allah SWT’.
Makalah
ini saya buat dengan sederhana dan ringkas agar dapat dipahami oleh semua
pembaca, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat untuk saya
dan semua pembaca.
Dan pada
kesempatan ini, saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu. Khususnya kedapa Ibu Dosen Al-islam Rifqi,
berkatnya saya bisa menyusun makalah yang sedemikian ini, dan olehnya saya juga mengetahui proses hakikat manusia
sebagai ciptaan, sehingga manusia harus tunduk kepada sang Pencipta yaitu Allah
SWT dengan cara mengakhlaqinya. Tidak lupa juga saya haturkan kepada kedua
orangtua kami yang atas doanya dan dukungannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu, dan Semoga
amal baik semua pihak yang telah membantu mendapatkan balasan yang sepadan dari
Allah SWT. Amin.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1
1.2 Identivikasi............................................................................................................ ......
5
1.3 Rumusan masalah........................................................................................................ 5
1.4 Batasan Masalah ......................................................................................................... 5
1.5 Tujuan Penulisan. ....................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5
2.1
Pengertian Akhlaq....................................................................................................... 4
2.1.1 Kriteria akhlaq.................................................................................................... 5
2.1.2 Pembagian Akhlaq............................................................................................. 5
2.2
Pengertian Taqwa........................................................................................................ 6
2.2.1 Devinisi Taqwa menurut alim Ulama................................................................ 6
2.2.2 Keagungan Taqwa.............................................................................................. 7
2.2.3 Tingkatan-tingkatan dan tanda-tanda
orang bertaqwa.................................. 7
2.3
Pengertian Cinta dan Ridha....................................................................................... 8
2.3.1 Perbedaan Cinta dan Ridho............................................................................... 9
2.4
Pengertian ikhlas........................................................................................................ 10
2.3.1 Cedera Ikhlas...................................................................................................... 11
2.5
Pengertian Khauf dan Raja’.................................................................................... 12
2.5.1 Devinisi Khauf.................................................................................................... 12
2.5.1.1 Macam-macam khauf............................................................................. 12
2.5.2 Devinisi Raja’...................................................................................................... 13
2.5.2.1 Macam-macam Raja’............................................................................. 13
2.5.2.2 Sifat Raja................................................................................................. 13
2.6
Pengertian Tawakal................................................................................................... 14
2.6.1 Tawakal dan Ikhtiar......................................................................................... 15
2.7
Pengertian Syukur..................................................................................................... 16
2.7.1 Dimensi Syukur................................................................................................. 16
2.8
Pengertian Muroqobah............................................................................................. 17
2.8.1 Muhasabah dan Muroqobah........................................................................... 18
2.8.2 Tahapan-tahapan pengasaan.......................................................................... 18
2.9
Pengertian Taubat..................................................................................................... 20
2.9.1 Kewajiban Bertaubat....................................................................................... 21
2.9.1 Dimensi Taubat................................................................................................. 21
BAB
III PENUTUP......................................................................................................... 23
Kesimpulan....................................................................................................................... 23
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh
Allah SWT sebagai makhluk yang sempurna, keharusan manusia sebagai makluk
sempurna diantara ciptaan-ciptaan lainya adalah bersyukur kepada-Nya, salah
satu wujud kesyukuran yang dilimpahkan manusia sebagai ciptaan kepada
penciptanya yaitu Allah SWT adalah dengan mengakhlakinya. akhlak adalah budi
pekerti atau tingkahlaku dan perilaku sesorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Kewajiban manusia mengakhlaki Allah SWT
adalah dengan wujud taqwa kepadanya, definisi taqwa secara harfiyah adalah
memelihara diri dari siksaan Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya, budi pekerti atau akhlaq merupakan perilaku
keseharian manusia yang tidak bisa diragukan lagi rutinitasnya, untuk menjaga
budipekerti manusia dari akhlaqsu’ulkarimah terutama mengakhlaki Allah SWT,
maka Allah SWT mewajibkan kepada seluruh ciptaannya khususnya manusia sebagai
makhluk sempurna dan hayawanu natiq (hewan yang berfikir) untuk mengaklaqi
Allah SWT dengan bertaqwa kepadanya.
Selain Bertaqwa manusia juga harus senantiasa
cinta dan ridho kepada Allah SWT, untuk mendefinisikan cinta sangat luas sekali
maknanya, menurut wikipedia Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang
kuat dan ketertarikan pribadi, cinta juga dapat diartikan take and Give (saling
memberi dan menerima) sedangkan dalam konsep filosofi cinta adalah sifat baik
yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.
Berbeda dengan cinta, kalaulah cinta
definisinya sangat luas, sedangkan ridho pengertiannya lebih lus dibandingkan
dengan cinta. Ridho secara harfiyah diartikan rela atau perkenan, bisa juga
diartikan puas. Olehkarena pengertian ridho sendiri lebih luas daripada cinta
maka hal ini menunjukan bahwa hirerarki tuhan yang lebih tinggi daripada
manusia. Adapun makna Ridho terhadap Allah SWT berarti Allah SWT puas akan
ibadah yang kita lakukan, berbeda dengan cinta yang berarti take and Give, ridho senantiasa
melakukan ibadah terhadap Allah SWT sedangkan Allah SWT senantiasa tidak
membutuhkan pemberian manusia atau tidak perlu menerima persembahan apapun.
Dalam cinta dan Ridho
terhadap Allah SWT manusia juga harus senantiasa mengakhlaki Allah SWT dengan
sikap Ikhlas atas segala kehendak-Nya, karena ridho kepada Allah SWT harus
didasari dengan sikap ikhlas, ikhlas adalah salah satu hal yang bisa
menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima Allah SWT. Sedangkan Pengertian
Ikhlas dalam islam adalah memurnikan ibadah atau amalan shalih hanya untuk
Allah SWTdengan mengharap pahala dari-Nya semata. Olehkarenanya sebagai manusia
haruslah bersikap ikhlas dan tidak mengharapkan imbalan terhadap perbuatan yang
telak dilakukan baik untuk diri sendiri maupun orang lain selain kepada-Nya.
Setelah ikhlas atas segala kehendak-Nya
manusia juga harus Khauf dan Raja’ terhadap Allah SWT, Khauf secara bahasa
berarti takut, khauf terhadap Allah SWT adalah takut kepada Allah SWT dengan
mempunyai perasaan khawatir akan adzab Allah SWT yang akan ditimpahkan kepada
manusia. Sedangkan Raja secara bahasa berarti harapan atau cita-cita, Raja
kepada Allah SWT artinya mengharapkan Ridho, rahmat dan pertolongan kepada
Allah SWT.
Selanjutnya, budi pekerti atau akhlak yang
harus mendasar pada manusia adalah TAWAKAL, tawakal berarti mewakilkan atau
menyerahkan, sedangkan yang dimaksud bertawakal kepada Allah SWT ialah berserah
diri sepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu
pekerjaan, atau menanti dari suatu keadaan. Manusia harus senantiasa bertawakal
dalam segala macam cobaan, musibah, ujian bahkan kenikmatan yang diberikan
Allah SWT semuanya adalah kehendak dari-Nya olehkarenanya tawakal harus
mendasar dalam diri manusia.
Setelah Tawakkal atau beserah diri kepada
Allah, manusia juga harus senantiasa bersyukur terhadap apa saja yang allah
kehendaki. Syukur adalah memuji pemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukan-Nya, wujud kesyukuran manusia dengan cara mengakui nikmat dalam
batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk
taat kepada allah.
Selanjutnya manusia harus bermurakabah atau
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sifat
manusia adalah lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah. Semua itu
adalah penyebab terjerumusnya manusia kedalam lembah kenistaan dan kemaksiatan
akibat godaan syaithan. Maka, manusia harus mendekatkan diri terhadap
Allah SWT atau Murokobatillah.
Manusia diciptakan Allah SWT dengan kriteria
makhluk sempurna yang memiliki akal dan nafsu, menurut Aristoteles manusia
adalah hewan yang berakal. Hewan diciptakan Allah SWT hanya dikaruniai nafsu
sedangkan malaikat hanya dikaruniai akal. Karena manusia memiliki hawa nafsu
dan akal oleh karenya manusia tidak luput dari kesalahan (dosa) dan lupa. Allah
SWT telah membuka pintu taubat sebesar-besarnya kepada manusia yang melakukan
kesalahan dan lupa. Maka dalam mengakhlaki Allah SWT Manusia harus bertaubat
kepadanya atas segala kesalahan (dosa) yang telah Manusia perbuat.
1.2 Identivikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Akhlaq?
2. Apa yang dimaksud dengan taqwa terhadap Allah
SWT?
3. Apa yang dimaksud dengan Cinta dan ridho
terhadap Allah SWT?
4. Apa yang dimaksud dengan Ikhlas atas kehendak
Allah?
5. Apa yang dimaksud dengan Khauf dan Raja’
kepada Allah?
6. Apa yang dimaksud dengan Tawakkal kepada
Allah?
7. Apakah yang dimaksud dengan Syukur?
8. Apa yang dimaksud dengan murokobatillah?
9. Apa pengertian dari Taubat?
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas
maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Akhlak terhadap
Allah SWT
1.4 Batasan Masalah
Berdasarkan
perumusan masalah diatas maka batasan masalah pada makalah ini adalah Akhlak
Manusia terhadap Allah SWT
1.5 Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana manusia mengakhlaki
Allah SWT dan peran manusia dalam mengakhlaki Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk ciptaan, dimana konteks ciptaan
ialah hasil pencipta, maka dalam penciptaan pasti memiliki pencipta. Kemudian
siapakah yang menciptakan manusia?. Allah SWT adalah sang pencipta, maha
pencipta, tidak hanya manusia saja yang diciptakannya, namun Malaikat,
binatang, syaitan, bahkan alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan Allah
SWT.
Maka hendaklah seorang manusia mensyukuri atas terciptanya kepada sang
pencipta, bagaimana kita mensyukurinya?. Salah satu wujud kesyukuran yang harus
diimplementasikan manusia kepada penciptanya adalah dengan cara mengakhlakinya.
Sehingga munculah pertanyaan besar bagi kita Bagaimanakan kita
mengakhlaki pencipta kita?, untuk menjawab pertanyaan itu hendaklah kita
mengetahui hakikat kita yang sebenarnya, untuk itu kita harus Bertaqwa
kepada-Nya, Cinta dan Ridho atas kehendaknya, Ikhlas atas segalanya, Khauf dan
raja’ kepada-Nya, Senantiasa bertawakal kepadanya, selalu mensyukuri nikmatnya,
senantiasa bermurakabah dengan-Nya, dan selalu bertaubat atas segala kesalahan
kita kepada-Nya.
2.1 Pengertian Akhlaq
Akhlaq adalah Budi Pekerti atau tingkah laku
seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik[1].
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata Khuluq, berasal dari bahasa Arab yang
berarti perangi, tingkah laku atau tabi’at.
Kata akhlaq diartikan sebagai tingkah laku,
tetapi tingkahlaku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidah cukup
hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang
dapat dikatan berakhlak jika timbul dengan sendirinya, didorong oleh motivasi
dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan yang sering
diulang-ilang sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila
perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlaq.
2.1.1
Kriteria Akhlaq
Sesorang sering kali merasa bahwa
dirinya sudah berakhlak, namun sesorang dapat dikatakan berakhlak (baik atau
buruk) apabila dia telah memenuhi kriteria berikut ini :
a.
Melakukan
Perbuatan yang baik atau Buruk.
b. Kemampuan melakukan Perbuatan.
c.
Kesadaran
akan perbuatan itu.
d. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan
perbuatan baik atau buruk.
2.1.2
Pembagian Akhlaq
Dalam menilai sesorang berakhlak baik atau buruk, manusia terkadang atas
tindakan atau tingkah laku yang dia perbuat namun dia tidak menyadari bahwa
tindakannya adalah baik atau buruk menurut dia maupun orang lain, adapun
pembagian akhlaq Dibedakan Menjadi dua bagian.
1. Akhlaq Baik (Al-Hamidah)
Akhlaq Al-hamidah adalah suatu
tingkah laku sesorang yang didorong oleh keinginan yang baik dengan tujuan
tidak mendatangkan kerugian bagi dirinya dan orang lain. Adapun contoh dari
Akhlaq Baik adalah Jujur (As-Sidqu), Berperilaku Baik (Khusnul khuluqi), Malu
(Al-Haya’), Rendah Hati (At-tawadlu’), Murah hati (Al-hilmu), Sabar
(Ash-Shobru).
2. Akhlaq Buruk (Adz-Dzaminah)
Akhlaq buruk merupakan suatu
tingkah laku sesorang yang berdampak buruk bagi dirinya sendiri dan orang lain,
adapun contoh dari akhlaq Adz-Dzaminah adalah mengambil atau mencuri hak orang
lain, membicarakan kejelekan orang lain, membunuh, segala bentuk tindakan
tercela dan merugikan orang lain.
2.2 Pengertian Taqwa
Taqwa Besasal
dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. "memelihara
diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan atau petunjuk allah" Adapun
dari asal bahasa arab quraish taqwa lebih dekat dengan kata Waqa, Waqa
bermakna melindungi sesuatu, memelihara dan melindunginya dari berbagai hal
yang membahayakan dan merugikan.[2]
Taqwa
dalam bahasa arab berarti memelihara
diri dari siksaan allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Maka kata taqwa bisa diartikan berusaha memelihara dari
ketentuan allah dan melindungi diri dari dosa atau larangan Allah SWT, atau juga berhati-hati dalam menjalani hidup
sesuai petuntuk allah.
2.2.1
Devinisi Taqwa menurut para Ulama
a.
Imam ar-Raghib al-Ashfahani
Takwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa dan itu
dengan meninggalkan apa yang dilarang menjadi sempurna dengan meninggalkan
sebagian yang dihalalkan.
b.
Imam an-Nawawi
Takwa adalah dengan menaati perintah dan larangan-Nya. Maksudnya menjaga
diri dari kemurkaan dan azab Allah. Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan
yang mengakibatkan siksa baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.
Dengan demikian, barangsiapa yang tidak menjaga dirinya dari perbuatan
dosa berarti dia bukanlah orang bertakwa. Maka, orang yang melihat dengan kedua
matanya apa yang diharamkan Allah atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa
yang dimurkai Allah atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak
diridhai Allah atau berjalan ke tempat yang dikutuk oleh Allah berarti tidak
menjaga dirinya dari dosa. Jadi orang yang membangkang perintah Allah serta
melakukan apa yang dilarang-Nya dia bukanlah termasuk orang-orang yang
bertakwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas
mendapat murka dan siksa dari Allah maka ia telah mengeluarkan dirinya dari
barisan orang-orang yang bertakwa.
2.2.2 Keagungan Taqwa
Dalam sebuah hadist menjelaskan :
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan
keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (hadist diatas) mengatakan :
“Maknanya barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa
yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya niscaya Allah
akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka
yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya”
Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar
baginya.” “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi tetapi
mereka mendustakan itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka
sendiri.”
2.2.3 Tingkatan-tingkatan dan tanda-tanda
orang Bertaqwa
Adapun tanda-tanda orang bertaqwa adalah sebagaimana Firman Allah SWT
dalam surat Ali’imron Ayat 134 :
“(yaitu) orang-orang yang berinfak (karena Allah SWT), baik diwaktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mereka yang
pemaaf terhadap (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebajikan.”
Sedangkan Tingkatan-tingkatan orang bertaqwa memiliki tiga tingkatan :
1.
Ketika seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan
mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah, dia disebut orang yang Taqwa.
Didalamnya pengertian ini semua orang beriman tergolong taqwa meskipun mereka
masih terlibat beberapa dosa.
2.
Jika seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai
Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi.
3.
Orang yang setiap saat selalu berupaya menggapai cinta
Allah SWT, dia memiliki tingkat Taqwa yang lebih tinggi lagi.
2.3 Pengertian Cinta dan
Ridha
Sebagai kaum muslimin, setiap kali sorang muslim melakukan rutinitas
dimasyarakat dalam kesehariannya yang terpenting dalam hidupnya adalah Ridha
Allah SWT. Maka dalam menjalankan segala aktivitasnya sesorang muslim haruslah
berpegang teguh kepada Ridha Ilahi, bukan selainnya. Ada salah satu agama yang
mengajarkan bahwa Cinta tuhanlah yang dicari. Olehkarena itu, hendaklah seorang
mengetahui makana dari cinta dan Ridha
Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang
yang kuat dan ketertarikan pribadi, cinta juga dapat diartikan take and Give
(saling memberi dan menerima)[3]
sedangkan dalam konsep filosofi cinta adalah sifat baik yang mewarisi semua
kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang.
Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa
dan dorongan hati yang menyebabkan seorang terpatut hatinya kepada apa yang
dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang[4].
Rihho Secara
harfiyah berarti “rela” atau “perkenan”.
Bisa juga diartikan sebagai “puas”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) Rida atau ridho adalah rela, suka,
senang hati. Ridha juga berarti memperkenankan atau mengizinkan[5].
Devinisi Ridha kepada Allah berarti ALLAH
SWT puas akan ibadah yang kita lakukan. Karena kepuasan ALLAH SWT ini berarti
tata cara, niat, dan rukun ibadah kita sudah sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan
begitu, ALLAH SWT rela dan memberikan izin kepada kita untuk berkarya di muka
bumi-Nya.
2.3.1 Perbedaan Cinta dan Ridha
Manusia sering kali terkecoh oleh cinta, namun sangat minoritas sekali
yang benar-benar mengetahui makna cinta yang sebenarnya, dalam memahami cinta
sebaiknya seorang harus mengetahui makna cinta sendiri itu seperti apa, maka
untuk mengetahui itu hendaklah mengenal perbedaan antara cinta dan ridho,
A. Cinta
Cinta memiliki arti saling
memberi dan menerima (Take And Give), yang
maknanya setiap terjadinya cinta pasti memiliki proses pemberian dan
penerimaan, contohnya cinta anak terhadap orang tua, cinta seorang anak adalah
hasil pemberian kasih sayang yang diberikan dengan tulus oleh kedua orangtuanya
terhadap anak tersebut, sehingga orang tua pun menerima dan banggga kepada
anaknya tersebut. Begitupun sebaliknya.
B. Ridho
Ridha memiliki arti yang lebih
luas dari cinta, ini menunjukan hierarki tuhan yang lebih tinggi daripada
manusia. kalaulah makna cinta itu saling memberi dan menerima, sementara itu
ridha Allah SWT sama sekali tidak membutuhkan pemberian manusia atau tidak
perlu menerima apapun. Seperti yang dijelaskan diatas Ridha Allah artinya Allah
SWT puas akan ibadah yang kita lakukan.
Tidak hanya itu, bahkan ada suatu
kisah tentang seorang sufi yang hendak berdo’a : “Tuhanku, andaikata engkau
menempatkan aku di neraka sekalipun, bila itu karena Ridha-Mu kepadaku, aku
ikhlas.” . hikmah dari kisah ini sangatlah dalam, terkadang seorang muslim yang
keberagamaannya masih ditatanan awam, beraguentasi “mendapatkan surga dan
menghindari neraka” argumentasi ini sering kali terdengar ditelingga kita pasca
sekolah dasar (SD) hal inilah yang menyebabkan orientasinya berbeda antara
Cinta dan Ridha. Maka semoga kita selalu ikhlas dalam melakukan rutinitas kita,
khususnya dalam beribadah.
2.4 Pengertian Ikhlas
Dalam melakukan dan mengakhlaki seseorang terkadang seorang masih bingung
apakah perbuatan yang dilakukannya dengan tulus ataukan berniat untuk minta
jasa, riya, ingin mendapatkan sesuatu, atau untuk dikenal (populer).
Hal tersebutlah yang menjadi pertanyaan besar bagi seorang muslim,
bagaimanakah bisa seorang muslim berusa baik dan tulus kepada seseorang yang
lain tetapi dengan tujuan imbal jasa atau minta jasa, inikah muslim yang
sebenarnya?. Oleh sebab itu hendaklah seorang itu mengetahui kata ikhlas dan
maknanya yang sesunguhnya agar seorang muslim tidak terjerumus oleh kata ikhlas
tapi minta jasa.
Ikhlas adalah salah satu hal yang
bisa menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima Allah Ta'ala. Adapun makna
Ikhlasa dalam Islam adalah memurnikan ibadah atau amal shalih hanya untuk Allah
dengan mengharap pahala dari Nya semata.[6] Jadi
dalam beramal kita hanya mengharap balasan dari Allah, tidak dari manusia atau
makhluk-makhluk yang lain.
Seorang ulama
muslim, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan arti ikhlas yaitu mengesakan Allah
di dalam tujuan atau keinginan ketika melakukan ketaatan, beliau juga
menjelaskan bahwa makna ikhlas
adalah memurnikan amalan dari segala yang mengotorinya. Inilah bentuk
pengamalan dari firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 5 yang artinya:
"Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon
pertolongan."
Waspadalah atas segala apa yang kita perbuat, apakah perbuatan kita hanya
mengejar duniawi saja ataukah ingin terkenal olehnya, berhati-hatilah dalam
bertintak sesuatu karena tatkala kita berniat salah apalagi berniat buruk itu
akan mengurangi keikhlasan dalam diri kita, Allah tidak akan menerima amal
tersebut dan hanya menjadikannya seperti debu yang berterbangan sebagaimana
firman Allah yang tercantum dalam QS Al-Furqan: 23 yang artinya: "Dan kami
perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu seperti
debu yang berterbangan.
Memiliki rasa ikhlas yang sesungguhnya memanglah tidak mudah, akan tetapi
kita harus belajar dan mempraktekkan keikhlasan itu sendiri.
2.4.1 Cedera Ikhlas
Sering kali manusia tergoda
oleh keindahan duniawi, seperti harta, tahta, wanita/pria. Ketiga hal inilah
yang terkadang menyebabkan terkurangnya keikhlasan dalam diri seseorang,
olehkarenya ada beberapa hal yang merusak keikhlasan seseorang yaitu :
- Riya
Pengertian
riya adalah seseorang menampakan amalnya
dengan tujuan orang lain melihatnya dan memujinya. Dan hal inilah yang termasuk
pembatal ikhlas dalam islam. Sehingga kita harus berhati-hati terhadap ikhlas
dan menanyakan pada diri kita sendiri bahwa kita sudah ikhlas. Dan ini adalah
termasuk perbuatan syirik dan dikategorikan srikrik kecik Sirkul Asghor,
- Ujub
Ujub
adalah seseorang berbangga diri dengan amal-amalnya. Para
ulama menerangkan bahwa ujub merupakan sebab terhapusnya pahala seseorang,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ujub sebagai
hal-hal yang membinasakan. Beliau bersabda yang artinya: "Hal-hal yang
membinasakan ada tiga yaitu: berbangganya seseorang dengan dirinya, kikir yang
dituruti, dan hawa nafsu yang diikuti"(HR. Al-Bazzar)
- Sum’ah
Sum’ah
adalah seseorang beramal dengan tujuan agar orang lain
mendengar amalnya tersebut lalu memujinya. Maka bahaya sum’ah sama dengan
bahaya riya’ dan pelakunya terancam tidak akan mendapatkan balasan dari Allah,
bahkan Allah akan membuka semua keburukannya di hadapan manusia. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya : "Barangsiapa
yang memperdengarkan amalannya maka Allah akan memperdengarkan kejelekan
niatnya dan barang siapa yang beramal karena riya’ maka Allah akan membuka
niatnya di hadapan manusia"(HR. Bukhari dan Muslim).
2.5 Pengertian Khauf dan
Raja’
Banyak sekali
manusia yang menyombongkan dirinya lebih berkuasa, ini merupakan akibat dari
mengejar tujuan duniawi, bahkan ada yang meyombangkan dirinya lebih pintar,
lebih berkuasa dibanding tuhaan. Fir’aun adalah salahsatu contoh nyata dan
sebagai pelajaran bagi seluruh umat manusia bahwa tidak ada yang paling
sempurna, paling berkuasa dibanding tuhan, maka jangan sekali-kali kita
menandingi idealisme, intelektual kita dengan-Nya.
Dalam
mengantisipasi itu semua hendaklah kaum muslimin didunia ini untuk
senantiasa takut dan hanya mengharapkan
ridho kepadanya (Khauf dan Raja’)
2.5.1 Devinisi Khauf
Secara bahasa Khauf berasal
dari kata khafa, yakhafu, khaufan yang
artinya takut. Takut yang dimaksud disini adalah takut kepada Allah SWT. Khauf
adalah takut kepada Allah SWT dengan mempunyai perasaan khawatir akan adzab
Allah yang akan ditimpahkan kepada kita. Cara untuk dekat kepada Allah yaitu
mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
2.5.1.1 Macam-macam Khauf
Adapun Macam-macam Khauf terbagi mendi tiga macam yaitu :
a.
Khouf thabi’i
seperti halnya orang takut
hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak
membuat orangnya dicela akan tetapi apabila rasa takut ini menjadi sebab dia
meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
b. Khouf ibadah
khauf Ibadah yang berarti
seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk beribadah
kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah
ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.
c. Khouf sirr
Khauf sirr seperti halnya
orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di kejauhan serta tidak
bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka
para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik.
Allah SWT bukanlah Dzat yang
harus ditakuti dalam arti dijauhi, tetapi dipatuhi segala perintah-Nya dan
dijauhi segala larangan-Nya. Allah Maha Pengasih. Lagi Maha Penyayang, Allah
Maha Penolong, juga Maha Pengampun. Ada pun alasan yang sering kali ditakuti manusia
terhadap allah adalah karena kekuasaan dan keagungan-Nya, Karena balasan-Nya,
karena taufik dan hidayah yang diberikan-Nya kepada manusia, dan karena rahmat
dan minat yang dilimpahkan kepada manusia.
2.5.2
Devinisi Raja’
Raja’ secara bahasa artinya
harapan atau cita-cita. Raja’ adalah mengharap ridho, rahmat dan pertolongan
kepada Allah SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya, atau suatu jiwa yang
sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT, setelah
melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapaknnya. Jika
mengharap ridha, rahmat dan pertolong Allah SWT, kita harus memenuhi ketentuan
Allah SWT. Jika kita tidak pernah melakukan shalat ataupun ibadah-ibadah
lainnya, jangan harap meraih ridha,rahmat,dan pertolongan Allah SWT.
2.5.2.1
Macam Macam Raja’
Dua bagian termasuk termasuk
raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya adalah raja`
yang tercela. Yaitu:
·
Seseorang
mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia
senantiasa mengharap pahala-Nya
·
Seseorang yang
berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah,
kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
·
Adapun yang
menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam
kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja`
yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
2.5.2.2 Sifat
Raja’
1. Optimis
Optimis adalah memungkinkan
seseorang melewati setiap warna kehidupan dengan lebih indah dan membuat
suasana hati menjadi tenang.
2. Dinamis
Dinamis adalah sikap untuk
terus berkembang, berfikir cerdas, kreatif, rajin, dan mudah beradaptasi dengan
lingkungan. Orang yang bersikap dinamis tidak akan mudah puas dengan
prestasi-prestasi yang ia peroleh, tetapi akan berusaha terus menerus untuk
meningkatkan kualitas diri.
Baik Khauf maupun raja` merupakan dua ibadah yang sangat agung. Bila
keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin, maka seluruh aktivitas kehidupannya
akan menjadi seimbang. Dengan khauf akan membawa diri seseorang untuk
selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; dengan raja`
akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Allah.
2.6 Pengertian Tawakal
Musibah dan kenikmatan adalah dua peristiwa atau kejadian yang acap kali
terjadi dan ditimpa manusia, musibah merupakan kejadian/peristiwa menyedihkan
yang menimpa manusia[7].
Sedangkan kenikmatan adalah keadaan yang enak dan merasa puas olehnya. Dua
peristiea inilah yang membuat hati kita kencang dan kendor, maksudnya berkat
keduanya hati kita bisa beralih-alih terkadang mensyukurinya namun dilain hal
membencinya. Dalam mengatasi hal tersebut maka hendaklah seorang muslim untuk
berserah diri kepada-Nya (bertawakal) karenya segala peristiwa yang dilimpahkan
Allah kepada manusia adalah sebagai cobaan.
Tawakal berarti mewakilkan atau menyerahkan. Adapun
arti tawakal dalam agama islam adalah berserah diri sepenuhnya kepada
Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat
dari suatu keadaan[8].
Salah seorang
alim ulama, Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut,
"Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu
kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala
ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Tawakkal
adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang
bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya
Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang
menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya
untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram
serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Tawakal
adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan
menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya[9].
2.6.1 Tawakal dan Ikhtiar
Tawakal harus
diawali dengan kerja keras dan usaha yang maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai
tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salahsatu bentuk
kesalahpahaman terhadap hakikat tawakal.
Banyak sekali orang mengerta kata tawakal
namun jarang yang mendalami maknanya. Salahsatu contoh orang yang hanya mengeti
maknanya saja adalah dia enggan berusaha dan bekerja, tetapi hanya menunggu.
Orang semacam ini mengerti kata tawakal ialah berserah diri kepada-Nya sehingga
dia malas untuk berusaha dan bekerja karena pada prinsipnya semuanya terserah
allah. Jika allah menghendaki dia kaya maka dia akan kaya, tanpa harus bekerja.
jika allah menghendaki pintar maka dia pintar, tanpa harus belajar. Inilah yang
mejadikan paradigma manusia pragmatis atau instan/praktis.
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu
usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya menurut ajaran Islam ialah
menyerah diri kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan
bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia tetapkan[10].
Adapun contoh orang yang bertawakal ialah seperti seseorang yang meletakkan
sepeda di halaman rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakkal. Pada
zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat
lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, "Saya
telah benar-benar bertawakkal kepada Allah". Nabi saw yang tidak
membenarkan jawaban tersebut berkata, "Ikatlah dan setelah itu bolehlah
engkau bertawakkal.",
Dengan
demikian, berserahdiri atau bertawakal kepada Allah SWT tidaklah pasrah dengan
realita kehidupan, melainkan tawakal yang sebenarnya adalah dengan didasari dan
senantiasa berikhtiar (bekerja keras dan berusaha maksimal) untuk menggapai
sesuatu yang dicita-citakan dan tidak pragmatis dalam merealisasikannya.
2.7 Pengertian Syukur
Syukur adalah memuji pemberi nikmat atas
kebaikan yang telah dilakukan-Nya. Syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan
anggota badan. Wujud kesyukuran hati berupa muhasabah dan mahabbah, sedangkan
lisan berupa memuja dan menyebut nama Allah, dan anggota badan untuk
menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan keta’atan
kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya. Syukur seorang hamba
berkisar atas tiga hal yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah
dinamakan bersyukur, adapun ketiga hal tersebut ialah :
1. Mengakui nikmat dalam batin.
2. Membicarakannya secara lahir
3. Menjadikannya sebagai sarana untuk taat
kepada Allah
Syukur memang berbeda dengan Al-hamdu
(pujian), karena syukur selalu sebagai respons terhadap nikmat atau pemberian
yang diterima. Sedangkan al-hamdu menyangkut sifat terpuji yang melekat pada
diri yang terpujitanoa suatu keharusan sipemuji mendapatkan nikmat atau
pemberian dari yang dipuji. Syukur melibatkan tiga aspek sekaligus yaitu, Hati.
Lisan, dan anggota badan. Sedangkan al-hamdu atau pujian cukup dengan lisan.
2.7.1
Dimensi Syukur
Adapun
dimensi yang dimaksud adalah tiga hal yang disebutkan diatas yaitu : hati,
Lisan dan Jawarih (anggota badan). Bila seorang muslim bersyukur kepada Allah
SWT atas kekayaan harta benda yang didapatnya maka yang pertama sekali yang
harus dilakukannya adalah mengetahui dan mengakui bahwa semua kekayaan yang
didapatnya itu adalah karunia dari Allah SWT. Usaha yang dia lakukan hanyalah
sebab atau ikhtiar semata. Ikhtiar tanpa taufik dari Allah SWT tidak akan menghasilkan
apa yang diinginkan. Oleh sebab itu, dia harus bersyukur kepada Allah yang maha
pemurah dan maha pemberi rizki. Selain itu baru dia mengungkapkan rasa
syukurnya dalam bentuk puji-pujian seperti al-hamdulillah, assyukrulillah dan
lain sebagainya. Kemudian dia buktikan rasa syukur dengan amal perbuatan yang
nyata yaitu memanfaatkan harta kekayaan itu pada jalan yang diridhai oleh Allah
SWT, baik untuk keperluannya sendiri maupun untuk keperluan keluarga, umat atau
untuk fisabillah.
2.8 Pengertian Murakabah
‘ilmu, bashar, dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) merupakan
bagian dari asma’ulhusna (nama-nama Allah). Ketiga sifat-sifat allah
menjelaskan bahwa allah mah mengetahui segala apa yang kita perbuat mulai dari
hal yang kecil hingga yang tak terhingga, manusia adalah makhluk yang mencoba
untuk sempurna. Diamana dalam merealisasikan impiannya itu sering kali
melakukan salah dan khilaf melakukaan hal yang menurutnya salah. Terkadang kita
merasa bebas hidup didunia ini, bebas berfikir, bertindak, berakhlak dst. Namun
kita tidak menyadari bahwa ada pencipta yang selalu mengawasi gerak-gerik kita.
Sehingga kita baru menyadarinya tatkala diberikan cobaan olehnya. Maka
salahsatu cara mengakhlakinya adalah dengan senantiasa merasa terawasi oleh-Nya
(bermuroqobah) kepada-Nya.
Muroqobah berakar dari kata raqaba (raqaba) yang
berarti menjaga, mengawal, menanti dan mengamati[11].
Maka muroqobah jika disimpulkan berarti pengawasan karena apabila seorang
mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan dan mengawalnya.
Pengertian muroqobah adalah kesadaran seorang
muslim bahwa dia selalu berada dalam pengwalan Allah SWT[12]. Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa
Allah SWT dengan sifat ‘ilmu, bashar dan sama’ (mengetahui, melihat dan
mendengar) Nya mengetahui apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja. Dia
mengetahui apa yang ia pikirkan dan rasakan. Tidak ada satupun yang lupt dari
pengawasannya.
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah
(muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri
dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
2.8.1 Muhasabah dan Muroqabah
Muhasabah adalah kesadaran akan pengawasan Allah SWT
akan mendorong seorang muslim untuk melakukan Muhasabah (perhitungan, Evaluasi)
terhadap amal perbuatan, tingkahlaku dan sikap hatinya sendiri[13].
Maka Muhasabah kaitannya
dengan muraqabah adalah (al-muraqabah
thariq ila al-muhasabah) muraqabah adalah sebagai jalan menuju muhasabah[14].
Berbeda dengan muhasabah, muraqabah lebih cenderung penddekatan diri
kepada-Nya. Sedangkan muhasabah adalah evaluasi diri manusia atas amal
perbuatannya.
2.8.2 Tahapan-tahapan Penguasaan.
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan
membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan
tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring
pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia
serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali
perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi
janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah
dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab:
“Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)
Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar
sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan
kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita
tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan
pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak
boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah bermu’ahadah, kemudian kita bermuraqabah. Jadi
kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji
dan kesaksian tersebut atau tidak.
3. Muhasabah.
Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung,
mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat
yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada
bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan
pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani
para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi
atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah
dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan
mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau
diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa
ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat
Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk
keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika
beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung
terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya,
subhanallah.
5. Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan
mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni
Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena
ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya.
Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada
dirinya.
6. Mutaba’ah.
Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan
mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan
seterusnya berjalan dengan baik.
2.9 Pengertian Taubat
Agama menganjurkan kepada kita dalam melaksanakan sesuatu haruslah
dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan, sebagaimana dikatakan dalam
pepatah “didalam keberhati-hatian itu ada keselamtan, didalam ketergesaan itu
ada penyesalan. Namun Ada lima perkara yang harus dilaksanakan manusia secara
terburu-buru dan tergesa-gesa:
1. Menguburkan jenazah
2. Menikahkan anak perempuan yang sudah cukup
umur.
3. Membayar Hutang
4. Memberi makan seorang musafir
5. Bertaubat kepada Allah SWT.
Dalam konteks ini, manusia diharuskan mendahulukan hal-hal diatas
ketimbang dalam melaksanakan rutinitasnya. Terutama apabila seorang muslim
melakukan kesalahan baik kesalahan kecil maupun besar, maka bersegera dia untuk
bertaubat kepada Allah SWT.
Taubat
berakar dari kata taba yang berarti
kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari
sesuatu menuju sesuatu, kembali dari sifat-sifatnya yang tercela menuju
sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan menuju perintah-Nya, kemballi
dari maksiat menuju yang taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju
yang diridhai-Nya, kembali dari yang saling betentangan menuju yang saling
menyenangkan, kembali taat setelah menentang-Nya[15].
Makna tobat secara definitif adalah
seseorang mustahil menjadi menyesal yang sungguh-sungguh selama orang masih
menetapi dosa atau berbuat dosa yang sejenisnya, sebab itulah penyesalan
merupakan syarat utama untuk bertobat. Sedangkan dalil dari hadits Nabi yang
artinya : "Seorang yang tobat dari dosa seperti orang yang tidak punya
dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba pasti dosa tidak akan
membahayakannya". (HR. Ibnu Mas'ud dan dikeluarkan oleh Ibnu Majjah).
2.9.1
Kewajiban Bertaubat
Menurut para Ulama', taubat
itu hukumnya ialah wajib, dan orang-orang yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip
ahli sunnah mengatakan. Allah SWT Maha penerima taubat, betapapun besarnya dosa
seorang manusia, apabila dia bertaubat, Allah pasti mengampuninya. Tidak ada
istilah terlambat untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalau nyawa
sudah berada ditenggorokkan atau matahari sudah terbit dibarat, pintu taubat
memang sudah tertutup.
Kita mengetahui Rasulullah
Saw adalah sebaik-baik manusia yang diciptakan oleh Allah SWT. Beliau tidak
pernah meninggalkan perintah Allah dan tidak pula pernah melanggar larangan-Nya.
Sekalipun demikian beliau selalu minta ampun kepada Allah SWT. Apalagi kita.
Mestinya lebih banyak lagi minta ampun kepada Allah SWT.
2.9.2
Dimensi Taubat
Sering kali kita dihadapkan untuk bertaubat kepada
allah namun sedikit dari kita yang memaknai kebenaran taubat yang sebenarnya,
adapun taubat dikatakan taubat yang sempurna apabila memenuhi lima Dimensi :
- Menyadari Kesalahan
Seorang tidak mungkin
bertaubat kalau dia tidak menyadari kesalahan atau tidak merasa bersalah. Maka
dimensi yang pertama ialah menyadari kesalahannya.
- Menyesalai Kesalahan.
Sekalipun seorang tahu bahwa
dia bersalah tetapi dia tidak menyesal telah melakukannya maka orang yang
demikian bukanlah tipikal orang yang bertaubat dan belum bisa dikatakan
bertaubat.
- Memohon ampun kepada Allah SWT (istigfar).
Dalam bertaubat seorang
haruslah beristigfar dengan keyakinan atau busn azh-zhan bahwa Allah SWT akan
mengampuninya. Semakin banyak dan semakin sering seorang mengucapkan istigfar
kepada Allah SWT semakin baik.
- Berjanji Tidak akan mengulangi.
Janji itu harus keluar dari
hati nuraninya dengan sejujurnya, tidak hanya dimulut, sementara didalam hati
masih tersimpan niat untuk kembali mengerjakan dosa itu sewaktu-waktu.
- Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh.
Untuk membuktikan bahwa dia
benar-benar bertaubat. Allah berfirman dalam surat Thaha 20:82 “dan
sesungguhnya. Aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal
sholeh, kemudian tetap dijalan yang benar”.
Apabila lima dimensi diatas terealisasikan maka itulah yang dimaksud dengan
taubat yang sempurna atau taubat nashuha.
Olehkarenanya apabila kita melakukan kesalahan bersegeralah untuk bertaubat
kepadanya dengan memenuhi lima dimensi diatas untuk mencapai taubat yang
sempurna.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kewajiban manusia
sebagai ciptaan kepada penciptanya yaitu Allah SWT salahsatunya adalah dengan
mengakhlakinya, akhlaq terhadap Allah SWT harus senantiasa kita lakukan dan
mengaplikasikannya, mengakhlaki Allah tidahlah seperti berakhlak kepada sesama
manusia yang senantiasa saling memberi dan menerima. Untuk mewujudkan akhlaq
yang sebenar-benarnya alangkah baiknya kita harus mengakhlaki sesama manusia
dengan sebenar-benarnya, yaitu melakukan runutinas didunia dengan tidak bertujuan
menikmati keindahan duniawi semata, dalam membantu sesama haruslah diliputi
dengan rasa ikhlas dan tulus bukan semata-mata ingin minta jasa.
Konsep Akhlaq terhadap
tuhan sudah diterangkan diatas bahwa kita harus senantiasa menanmkan delapan
nilai-nilai tersebut dalah diri kita. Bertaqwa kepada-Nya, cinta dan ridha atas
segala kehendak-Nya, Ikhlas menerima kenyataan dari-Nya, Takut dan berharap
ridha (Khauf dan Raja’) dari-Nya, selalu tawakal kepada-Nya, mensyukuri segala
kehendaknya, bermurokobah dengan-Nya, dan senantiasa bertaubat atas segala
kesalahan yang diperbuat.
Daftar Pustaka
1. Prof. Dr. H. Yuhanar Ilyas, kuliah Akhlaq, cet: XII September 2012.
LPPI Yogyakarta.
2. wekipedia :
a. Taqwa
b. Tawakal
c. Cinta
3. http//abufattas.blogspot.com/2013/03/arti-makna-ikhlas.
4. http//kumpulan-makalah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar